Tak ada yang abadi ...
Tak ada yang abadi ...
Tak ada yang abadi ...
Begitulah lirik yang pernah ku dengar dari sebuah lagu yang berjudul "Tak ada yang abadi". Kehidupan ini tak ada yang selalu abadi. Terkadang kita di atas, bahkan kita pasti mengalami di bawah. Mungkin inilah yang disebut sebagai roda kehidupan. Kisah ini menceritakan kesedihan yang dialami oleh banyak orang termasuk aku.
Masa kecilku memang tak seindah masa kecil banyak orang yang selalu memiliki banyak teman dan selalu bersuka cita. Namun tidak semua orang mengalami masa kecil yang menyenangkan. Masa kecil yang suram bisa membuat masa dewasa seseorang menjadi lebih suram. Tekanan mental hari demi hari yang dilewati membuat aku mengerti betapa kerasnya hidup ini. Kita hidup ada di zaman penuh kebencian dan kerusakan.
Aku lahir dari kalangan orang yang tidak mampu. Jangankan untuk membeli buku materi sekolah, untuk jajan sekolah pun aku terkadang harus kelaparan di sekolah. Terkadang ada beberapa dari temanku membagi makanan kepadaku yang sedang termenung melihat teman-teman yang lain membeli makanan ringan.
Aku teringat sebuah kisah dimana ketika aku duduk di bangku sekolah dasar, aku mengalami perundungan yang masih tidak bisa ku lupakan hingga saat ini. Aku adalah seorang anak baru yang pindah dari SD tempat lamaku. Setelah aku pindah ke sekolah baru, aku berfikir mungkin akan lebih menyenangkan jika aku juga memiliki teman lain. Namun kenyataan tak semanis apa yang terbayangkan.
Dua minggu setelah aku masuk ke sekolah baruku, semua siswa di kelas diberikan Pekerjaan Rumah. Namun, aku sengaja tidak mengerjakannya karena malas. Ketika PR tersebut dikumpulkan, ternyata sang guru mengetahui bahwa aku tidak mengerjakan PR sehingga aku di hukum berdiri di depan papan tulis, bahkan ketika guru menerangkan aku harus duduk di papan tulis dengan hukuman menulis "aku berjanji akan selalu mengerjakan pekerjaan rumah". Dalam hukuman itu aku harus menulis satu buku catatan yang berisi 15 lembar. Aku tidak sendiri, ternyata ada 3 orang temanku yang lain yang juga dihukum. Dengan tekun aku selalu menulis dengan kalimat yang sama di tiap lembarnya. Di satu masa, aku tidak sengaja bercanda dengan candaan yang membuat ketua kelasku merasa terhina dan sangat marah hingga tanganku ditendang. Sakit sekali rasanya hingga aku menangis di depan kelas. Diantara semua yang ada di kelas itu, tidak satupun membelaku. Aku merasa asing bahkan merasa selalu sendiri.
Suatu hari aku berhasil menyelesaikan masa hukuman dari guruku dan duduk di tempat paling belakang. Semua siswa di kelas diminta untuk mengerjakan soal matematika. Alhasil aku mendapatkan nilai tertinggi di antara semua siswa. Keberhasilanku mengerjakan soal matematika pun mengundang rasa iri dari ketua kelasku. Ketika sang guru keluar dari kelas, ketua kelas menghampiri meja belajarku dan berkata sambil menyentak :
"Lu anak baru aja sok pinter, coba lu selesain nih soal dari gw, bisa gak ?", sentak sang ketua kelas.
Aku hanya bisa terdiam karena statusku adalah siswa baru di sekolah. Semua siswa tersorot ke arah aku dan ketua kelasku.
"Kalo ngga bisa, jangan sok belaga pinter di depan bu guru. Anak baru aja sombong amat sih lu.", lanjut dia.
Padahal aku tidak melakukan hal apapun yang membuat dia marah kecuali rasa iri dalam hatinya yang membuatnya marah kepadaku.
Singkat cerita setelah ulangan umum dan diumumkan urutan prestasi (ranking), aku mendapatkan urutan 7 terdepan. Sejak saat itu, semua siswa di kelas mulau mensegani keberadaanku dan mencapku sebagai salah satu siswa yang punya kepintaran baik.
Dalam kisah lain, aku juga pernah mengalami perundungan yang sangat menyakitkan. Saat itu aku sedang menggambar di kelasku, namun tiba-tiba temanku dengan sengaja mengambil gambarku sehingga gambar yang sudah aku buat susah payah hingga aku tak sengaja melayangkan pukulan ke arahnya dan terjadi baku hantam antara aku dan temanku.
Temanku tidak meminta maaf, melainkan dia menghasut teman yang lain untuk menjauhiku. Aku hanya bisa termenung sendirian ketika aku dikucilkan dan dianggap tidak ada. Namun tidak semua yang dia hasut mengucilkanku. Ternyata Alloh Maha Adil dengan segala kuasa-Nya. Alloh memberiku teman sederhana yang selalu bisa diajak ceria dan berbagi cerita. Zakaria, Liandi, dan Hendrio, itulah nama teman yang selalu bermain bersamaku baik suka maupun duka. Mereka tidak memiliki harta banyak dari orang tuanya. Sama sepertiku, yang dilahirkan dari orang yang tidak mampu.
Waktu bergulir tanpa terasa, semester demi semester, urutan prestasiku semakin naik. Hal ini tentu membuat namaku semakin banyak dikenal teman-temanku. Hari demi hari teman-temanku pun bertambah hingga aku bisa memiliki banyak teman. Mulai dari urutan 8, naik ke 7, 6, 5, hingga akhirnya ketika lulus aku mendapatkan urutan ke-4 dari semua siswa kelas 6 di sekolah. Aku merasa bangga bisa mendapatkan urutan ke-4 di sekolah SD terakhir.